Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengonfirmasi bahwa pungutan bea keluar batu bara akan mulai diimplementasikan pada tahun 2026, dengan tarif yang dipatok di kisaran 1 hingga 5 persen per ton. Menanggapi kebijakan ini, Peneliti SUSTAIN, Adila Isfandiari, memberikan pandangan strategis, menilai bahwa hasil dari pungutan ini dapat menjadi sumber pendanaan krusial bagi pemerintah dalam membiayai inisiatif transisi energi menuju energi bersih di Indonesia.
Hasil kajian yang dilakukan oleh SUSTAIN menunjukkan potensi penerimaan yang signifikan. Dari ekspor batu bara, pungutan ini diperkirakan dapat menghasilkan sekitar Rp 20 triliun per tahun mulai tahun 2026. Angka ini membengkak menjadi sangat besar, berpotensi mencapai Rp 80 triliun selama empat tahun masa kepemimpinan Presiden Prabowo. Dana sebesar ini membuka peluang luar biasa untuk percepatan pengembangan sektor energi terbarukan.
Lebih lanjut, jika dikonversi ke dalam proyek konkret, dana sebesar Rp 80 triliun tersebut bisa digunakan untuk membangun kapasitas listrik hingga 4 GW. Ini dapat diwujudkan melalui skema Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 1 MW yang dialokasikan untuk setiap Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), mencakup hingga 4.000 desa di seluruh pelosok negeri. Selain itu, inisiatif ini juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru yang masif, mencapai sekitar 81.416 posisi, memberikan dorongan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Namun, demi memastikan bahwa penerimaan negara dari batu bara ini benar-benar sampai dan menopang program ambisius 100 GW PLTS KDMP, diperlukan mekanisme alokasi dana yang spesifik. “Kita membutuhkan earmarking, bagaimana pendapatan itu benar-benar dialokasikan Kementerian Keuangan untuk daerah-daerah,” tegas Peneliti SUSTAIN Adila Isfandiari dalam diskusi bertajuk ‘‘Menakar Kelayakan PLTS 100 GW: Analisis Teknis, Finansial, dan Institusional’ di Jakarta, Jumat (12/12). Alokasi khusus ini menjadi kunci keberhasilan program jangka panjang.
Diarahkan ke Pilot Project
Adila melanjutkan dengan menekankan pentingnya mengarahkan sebagian penerimaan tersebut untuk pilot project PLTS. Ia menilai, sebelum mengimplementasikan proyek secara masif, sangat diperlukan pelaksanaan proyek percontohan yang disesuaikan dengan karakteristik unik desa-desa di Indonesia. Pendekatan ini akan memastikan bahwa solusi yang ditawarkan relevan dan efektif.
Empat karakteristik desa yang ideal untuk dijadikan pilot project meliputi desa-desa yang belum memiliki akses listrik; desa yang masih sangat bergantung pada bahan bakar diesel yang mahal; desa dengan permintaan energi listrik yang terus meningkat; serta desa dengan potensi green title, seperti desa ekowisata, yang dapat menjadi model bagi pengembangan energi berkelanjutan. Pengujian di berbagai tipologi desa ini akan memberikan data dan pembelajaran berharga.
Agenda pilot project ini tidak hanya bertujuan untuk menilai karakteristik spesifik setiap desa, tetapi juga untuk menakar apakah ada alternatif energi lain yang lebih ekonomis dan efisien dibandingkan energi surya. Dengan demikian, keputusan implementasi besar-besaran di masa depan dapat didasarkan pada data dan pengalaman nyata, menghasilkan solusi energi yang paling optimal.
Baca juga:
- WRI: Transisi Berkeadilan Harus Lebih Luas, Tidak Hanya Sektor Energi
- Komitmen Pensiun Dini PLTU Meredup, IESR Sebut Kemunduran Transisi Energi
- The Habibie Center Ungkap Tantangan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia
Ringkasan
Kementerian Keuangan akan memberlakukan pungutan bea keluar batu bara sebesar 1-5% per ton mulai tahun 2026. Peneliti SUSTAIN, Adila Isfandiari, menilai dana ini krusial untuk membiayai transisi energi bersih di Indonesia, berpotensi menghasilkan Rp 20 triliun per tahun, atau total Rp 80 triliun selama empat tahun. Dana tersebut dapat digunakan untuk membangun kapasitas listrik hingga 4 GW melalui 4.000 PLTS di desa, sekaligus menciptakan sekitar 81.416 lapangan kerja baru.
Untuk memastikan efektivitasnya, SUSTAIN menekankan pentingnya mekanisme alokasi dana spesifik atau “earmarking” oleh Kementerian Keuangan untuk daerah. Adila juga menyarankan pengarahan sebagian penerimaan untuk proyek percontohan PLTS di desa-desa. Pilot project ini bertujuan menilai karakteristik unik desa serta efisiensi PLTS dibandingkan alternatif energi lain, sebelum implementasi masif.