Korea Selatan kembali menjadi sorotan seiring dengan tren peningkatan jumlah pernikahan multikultural atau beda negara. Fenomena ini tercatat telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut, mencapai puncaknya di tahun 2024, menandakan dinamika sosial yang menarik di Negeri Ginseng.
Menurut laporan terbaru dari Badan Statistik Korea, total pernikahan multikultural di Korea Selatan pada tahun 2024 mencapai 20.759 pasangan. Angka ini menunjukkan kenaikan signifikan sebanyak 1.042 dari 19.717 pernikahan yang tercatat pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini tidak hanya mencerminkan pemulihan, tetapi juga pertumbuhan minat akan hubungan lintas budaya di negara tersebut.
Meskipun demikian, perjalanan angka pernikahan multikultural tidak selalu mulus. Melansir laman Yonhap News pada Jumat (21/3/25), jumlah pernikahan beda negara sempat mengalami penurunan drastis. Dari sekitar 24.000 pada tahun 2019, angka tersebut merosot menjadi sekitar 15.000 di tahun 2020, dan bahkan turun lebih jauh hingga sekitar 13.000 pada tahun 2021, terutama akibat dampak pandemi COVID-19. Namun, tren positif kembali terlihat sejak tahun 2022 dengan tercatatnya 16.666 pernikahan, yang terus meningkat hingga saat ini.
Dari total seluruh pernikahan yang terjadi di Korea Selatan pada tahun lalu, pernikahan multikultural menyumbang 9,3 persen. Angka ini sedikit menurun dari 10,1 persen pada tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa meskipun jumlah absolutnya meningkat, proporsi terhadap total pernikahan sedikit bergeser.
Negara Penyumbang Angka Pernikahan Multikultural Terbanyak
Analisis lebih lanjut mengungkapkan asal negara yang paling banyak berkontribusi pada pernikahan multikultural di Korea Selatan. Untuk kategori istri, perempuan asal Vietnam mendominasi dengan 32,1 persen, diikuti oleh perempuan dari China sebesar 16,7 persen, dan Thailand dengan 13,7 persen.
Sementara itu, pada kategori suami dari negara asing, data menunjukkan dominasi pria asal Amerika Serikat yang mencapai 28,9 persen. Selanjutnya, diikuti oleh pria dari China sebesar 17,6 persen, dan Vietnam sebanyak 15 persen. Data ini memberikan gambaran tentang dinamika dan preferensi pasangan lintas negara yang berkontribusi pada tren demografi Korea Selatan.
Menariknya, di tengah peningkatan jumlah pernikahan multikultural, terjadi tren berbanding terbalik pada angka perceraian. Data menunjukkan bahwa jumlah perceraian di antara pasangan multikultural di Korea Selatan menurun sebesar 1,4 persen dari tahun ke tahun, menjadi 6.022 kasus pada tahun 2024. Ini bisa menjadi indikator adanya adaptasi yang lebih baik atau dukungan yang lebih kuat bagi pasangan beda budaya.
Hal serupa juga terlihat pada angka kelahiran dari pasangan multikultural. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah bayi yang lahir dari pasangan beda negara di Korea Selatan berkurang 3,0 persen, yakni menjadi 12.150 di tahun 2024. Penurunan ini mengikuti tren sebelumnya di mana angka tersebut sempat menurun hingga dua digit pada tahun 2021 dan 2022, mengindikasikan kompleksitas demografi di tengah dinamika pernikahan lintas budaya.
Tips Menjaga Keharmonisan dalam Pernikahan Multikultural
Fenomena pernikahan multikultural tidak hanya terjadi di Korea Selatan, tetapi juga meluas ke banyak negara lain, termasuk Indonesia. Tampaknya, perbedaan budaya kini tak lagi dianggap sebagai penghalang utama bagi pasangan untuk membangun bahtera rumah tangga. Namun, tantangan tetap ada dan membutuhkan strategi khusus untuk menjaga keharmonisan.
Menurut Profesor Psikologi di Georgia Gwinnett College, David Ludden Ph.D., membangun kehidupan bersama seseorang selalu memiliki tantangan. Tantangan ini menjadi lebih kompleks ketika kedua pasangan berasal dari budaya yang berbeda. “Hal itu karena budaya kita memberi serangkaian harapan tentang bagaimana segala sesuatu bekerja di dunia, dan ini termasuk dinamika hubungan,” jelas Ludden, seperti dikutip dari Psychology Today.
Ludden menyoroti bahwa pasangan dari budaya yang sama umumnya memulai hubungan dengan asumsi-asumsi yang serupa. Namun, hal ini tidak berlaku bagi pasangan antarbudaya. Oleh karena itu, kunci kebahagiaan terletak pada sejauh mana masing-masing pasangan mampu memahami dan menerima budaya pasangannya, karena itulah fondasi untuk membangun jembatan di atas perbedaan.
Sebagai kesimpulan, Ludden menegaskan bahwa pernikahan beda budaya berpotensi besar untuk berhasil. Syarat utamanya adalah pasangan harus memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan budaya dan kemauan untuk berkompromi. “Selain itu, dengan menyadari asumsi dan bias kita sendiri, maka kita dapat mengembangkan sikap yang lebih menerima terhadap cara berpikir dan dalam melakukan sesuatu,” tambahnya, menekankan pentingnya introspeksi dan empati dalam setiap hubungan.
Demikianlah gambaran terkini mengenai peningkatan pernikahan multikultural di Korea Selatan, lengkap dengan tren demografi terkait, serta panduan berharga dari pakar untuk menjaga keharmonisan dalam pernikahan beda budaya. Semoga informasi ini memberikan wawasan yang bermanfaat.
Pilihan Redaksi
Realita Nikah dengan Lelaki Korea, Istri Kerap Dituduh Hanya Mau Cari Untung
Kisah 2 Wanita Korea Dinikahi Pria RI, Pakai Adat Tradisional hingga Belajar Bahasa Jawa
Cerita Pasangan RI-Korea Dapatkan Kewarganegaraan Ganda untuk Bayinya
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
Ringkasan
Pernikahan multikultural di Korea Selatan terus menunjukkan peningkatan selama tiga tahun berturut-turut, mencapai 20.759 pasangan pada tahun 2024, menandai pemulihan signifikan setelah penurunan drastis akibat pandemi. Meskipun jumlahnya naik, proporsinya terhadap total pernikahan sedikit menurun menjadi 9,3%. Perempuan asal Vietnam (32,1%) mendominasi sebagai istri, sementara pria asal Amerika Serikat (28,9%) paling banyak menjadi suami dalam pernikahan lintas budaya ini.
Di sisi lain, angka perceraian pasangan multikultural justru menurun 1,4% pada tahun 2024, meskipun angka kelahiran dari mereka juga berkurang 3,0%. Menurut Profesor David Ludden Ph.D., pernikahan beda budaya berpotensi besar untuk berhasil jika pasangan memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan, kemauan untuk berkompromi, dan mampu memahami serta menerima budaya pasangannya sebagai fondasi keharmonisan.