
Topan Senyar dan banjir bandang yang menerjang wilayah Sumatra Utara baru-baru ini telah memicu kerusakan fisik yang masif, namun dampaknya melampaui itu. Bencana alam ini sekaligus memunculkan risiko baru yang serius bagi kelestarian keanekaragaman hayati Sumatra dan keberlanjutan hidup masyarakat yang sangat bergantung pada Ekosistem Batang Toru yang rapuh.
Menyikapi kondisi tersebut, Konservasi Indonesia (KI) menekankan pentingnya peninjauan ulang terhadap perhitungan dalam rencana tata ruang yang ada. Penyesuaian mendesak pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diperlukan agar pengelolaan ruang tidak lagi didasarkan pada asumsi kondisi sebelum bencana, melainkan beradaptasi dengan realitas lanskap terbaru beserta potensi risikonya yang semakin kompleks.
Keberhasilan dalam mengelola dan melindungi Ekosistem Batang Toru secara optimal sangat bergantung pada kondisi kawasan di sekitarnya, khususnya desa-desa pinggiran yang berinteraksi langsung dengan ekosistem tersebut. Apabila wilayah-wilayah penyangga ini mengalami kerusakan dan tidak tertangani dengan baik, maka upaya pelestarian di tingkat ekosistem secara keseluruhan akan menghadapi hambatan dan berjalan lebih lambat.
“Saat wilayah pinggiran rusak dan tidak tertangani dengan baik, upaya pelestarian di tingkat ekosistem juga berjalan lebih lambat,” ujar Program Manager Batang Toru KI, Doni Latuparisa, dalam keterangan resminya yang dikutip Senin (22/12).
Baca juga:
- KLH Segel Perusahaan Sawit di Tapanuli Tengah Imbas Banjir Sumatra
- Bencana Tapanuli: Tragedi Ekologis dan Impunitas Korporasi
Doni lebih lanjut menjelaskan bahwa Ekosistem Batang Toru membutuhkan luasan yang utuh untuk memastikan fungsinya tetap berjalan optimal. Menurutnya, luas sekitar 240 ribu hektare merupakan batas minimum yang krusial untuk dipertahankan guna menjaga keseimbangan ekologis.
Analisis mendalam oleh KI mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, telah terjadi pembukaan lahan seluas setidaknya 10 ribu hektare di kawasan Ekosistem Batang Toru. Ironisnya, lebih dari 73% pembukaan tutupan lahan ini terjadi di wilayah hulu, tepatnya pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl), area yang sangat vital bagi penyerapan air dan pencegahan erosi.
Melihat fakta ini, penataan ulang keberadaan sejumlah desa di kawasan Batang Toru perlu dilakukan secara lebih adaptif. Langkah ini esensial untuk mengintegrasikan perlindungan kawasan ekosistem dengan aktivitas masyarakat, demi menciptakan pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan.
Selain itu, KI juga menegaskan bahwa perubahan lanskap pascabencana harus direspons sebagai proses kolektif. Pendekatan kolaboratif, adaptif, dan berbasis data ilmiah dipandang sebagai kunci utama untuk menjaga kelestarian Batang Toru di tengah tantangan yang semakin besar.
Perubahan Lanskap Akibat Bencana
KI juga menyoroti bahwa perubahan fisik yang terjadi pada kawasan pascabencana berpotensi memunculkan serangkaian risiko baru yang mengkhawatirkan. Ini termasuk peningkatan fragmentasi habitat akibat longsor dan terbukanya lahan secara luas.
Dampak bencana juga bisa berujung pada perubahan alur sungai yang krusial, mengganggu fungsi ekologis vital sungai tersebut, serta memicu meluasnya aktivitas manusia ke area-area yang semakin rentan pascabencana.
Kondisi demikian tentu berisiko tinggi mengubah ruang jelajah alami satwa liar. Akibatnya, potensi konflik antara manusia dan satwa liar di kawasan ekosistem tersebut akan meningkat drastis, menciptakan ketegangan baru bagi masyarakat dan konservasi.
Akses jalan di Tapanuli Selatan masih terputus akibat banjir bandang (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)
Menurut Senior Vice President and Executive Chair KI, Meizani Irmadhiany, transformasi lanskap pascabencana memberikan konteks baru yang signifikan dalam perumusan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lanskap ke depan.
“Pemerintah memiliki peluang penting untuk memastikan rencana tata ruang dan perlindungan ekosistem benar-benar mencerminkan kondisi lapangan terkini, jadi risiko ekologis dan sosial dapat ditekan sejak awal,” kata Meizani, menegaskan urgensi adaptasi kebijakan.
Temuan Kayu
Sumatra Policy Manager KI, Dedy Iskandar, menjelaskan bahwa berbagai pertanyaan dari publik muncul secara wajar pascabencana, termasuk mengenai temuan kayu di sejumlah desa yang terdampak. Dedy berpendapat bahwa isu ini harus dijawab dengan pendekatan berbasis bukti yang kuat, bukan hanya asumsi belaka.
“Diperlukan analisis komprehensif agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mengambil langkah perbaikan,” ujarnya, menekankan pentingnya data yang valid.
Dedy menegaskan bahwa kajian spasial pascabencana merupakan langkah esensial untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan secara objektif. Ia berharap, akan ada kajian menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang yang ada, sehingga penataan ruang di masa mendatang dapat sepenuhnya menyesuaikan dengan kondisi ekologis terbaru.
Desa Aek Garoga dipenuhi kayu pascabanjir bandang (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)
Dalam konteks pemulihan ini, Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru (POKJA EBT), yang telah dibentuk pemerintah sejak Juni lalu, mengemban peran strategis. POKJA EBT diharapkan dapat menyatukan kerja lintas sektor untuk mengoptimalkan upaya pemulihan dan penataan.
Dedy menggarisbawahi pentingnya segera mendorong “rencana perlindungan dan pengelolaan terpadu Ekosistem Batang Toru” sebagai rujukan bersama. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa upaya pemulihan, penataan ruang, dan perlindungan kawasan bergerak dalam satu arah yang sinergis dan terkoordinasi.
Untuk mempercepat kerja POKJA, perlu dibarengi dengan kejelasan mekanisme pembiayaan yang berkelanjutan serta strategi komunikasi yang efektif. Dengan demikian, semua pemangku kepentingan dapat memahami dan menjalankan kebijakan secara konsisten, demi masa depan Batang Toru yang lebih baik.
Tinjau Kembali Rencana Tata Ruang
Ringkasan
Banjir bandang dan Topan Senyar di Sumatra Utara telah menyebabkan kerusakan fisik masif dan memunculkan risiko serius bagi keanekaragaman hayati Ekosistem Batang Toru serta keberlanjutan hidup masyarakat. Konservasi Indonesia (KI) mendesak peninjauan ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar beradaptasi dengan realitas lanskap pascabencana dan potensi risikonya, bukan asumsi lama. Keberhasilan perlindungan Ekosistem Batang Toru, yang membutuhkan luasan utuh minimum 240 ribu hektare, sangat bergantung pada kondisi kawasan di sekitarnya. KI juga mengungkapkan adanya pembukaan lahan setidaknya 10 ribu hektare dalam lima tahun terakhir di kawasan tersebut, sebagian besar di area hulu yang vital.
Perubahan lanskap pascabencana berpotensi memunculkan risiko baru seperti peningkatan fragmentasi habitat, perubahan alur sungai, dan meluasnya aktivitas manusia yang dapat memicu konflik dengan satwa liar. Oleh karena itu, penataan ulang desa di Batang Toru secara adaptif dan pendekatan kolaboratif berbasis data ilmiah dianggap esensial untuk pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Pemerintah diharapkan memastikan rencana tata ruang mencerminkan kondisi lapangan terkini, didukung analisis spasial komprehensif terkait perubahan tutupan hutan. Kelompok Kerja Ekosistem Batang Toru juga mengemban peran strategis dalam menyatukan upaya pemulihan dan penataan ruang di kawasan tersebut.